BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 19 Desember 2010

PRAKTIK TEBUS TAHANAN SEBAGAI TINDAK PIDANA SUAP (TINJAUAN TERHADAP PASAL 12 B UNDANG-UNDANG RI NO.20 TAHUN 2001)

Latar Belakang Masalah


Dengan keluarnya Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seharusnya undang-undang ini sudah dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi para penegak hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi, karena dalam undang-undang ini mengatur secara luas pengertian dan unsur-unsur tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana gratifikasi atau suap dan telah memberikan sanksi yang cukup berat kepada pelaku. Seperti praktik tebus tahanan.
Keluarga atau pelaku tindak pidana yang baru ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam beberapa kasus (kasusnya sering yang tidak terpublikasikan dimasyarakat) sering membayar sejumlah uang kepada aparat kepolisian RI untuk mengeluarkan pelaku yang ditangkap atas tuduhan tertentu agar bebas dari tuntutan hukum yang disebut Praktik tebus tahanan.


Rumusan Masalah
  1. Apakah praktik tebus tahanan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana?
  2. Apakah praktik tebus tahanan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana suap menurut pasal 12 B Undang-Undang RI No.20 Tahun 2001?

Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui praktik tebus tahanan dikaitkan dengan mekanisme sistem peradilan pidana.
  2. Untuk mengetahui praktik tebus tahanan dikaitkan dengan tindak pidana suap menurut pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2001.

Metode Penelitian
  1. Jenis Penelitian Normatif
  2. Sifat penelitian Deskriptif Analitis
  3. Tipe Penelitian Pendekatan PerUndang-Undangan.


Tinjauan Pustaka

1. Pengertian
a. Hukum Pidana
b. Tindak Pidana
c. Tindak Pidana Suap
d. Praktik tebus tahanan
2. Dasar Hukum
Pasal 12 B UU RI No.20 Tahun 2001


Pembahasan


Praktik Tebus Tahanan dan Sistem Peradilan Pidana
Mekanisme sistem peradilan pidana, sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan atau adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat berita acara pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada mayarakat. Kemudian jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan tindak pidana diserahkan ke lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Maka praktik tebus tahanan tidak sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana. Karena pelaku praktik tebus tahanan atau mafia peradilan bisa bebas, dan tidak menjalankan proses peradilan pidana lagi selanjutnya. Praktik tebus tahanan ini bekerja pada saat proses penyidikan, proses inilah penyidik melakukan pemerasan terhadap tersangka, setelah ada pemberian uang kepada polisi, maka tersangka bisa menghirup udara segar dan bebas dari jeratan hukum, dan kasus tersebut dihentikan dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas oleh penyidik. Sistem peradilan pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal ini mengganggu sistem secara keseluruhan.

Praktik Tebus Tahanan Sebagai Tindak Pidana Suap Menurut Pasal 12 B Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001
Dari rumusan pasal 12 B Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada 4 (empat), yaitu :

  1. Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara; Subjek gratifikasinya adalah anggota kepolisian RI.
  2. Pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); pelaku tindak pidana ataupun keluarganya memberi sejumlah uang kepada polisi, dan polisi menerima sejumlah uang dari pelaku tindak pidana ataupun keluarganya, supaya mengarahkan kasus sehingga kasusnya diSP3kan.
  3. Berhubungan dengan jabatan; yaitu melakukan kewenangan penyidikan.
  4. Berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tugas pokok POLRI adalah sebagai penegak hukum, bukannya melanggar hukum yaitu melakukan pemerasan dan menghentikan kasus tindak pidana tanpa alasan yang jelas.

Praktik tebus tahanan dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi atau suap, karena telah memenuhi unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tersebut.


Penutup

Kesimpulan

  1. Praktik tebus tahanan tidak sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana. Karena pelaku praktik tebus tahanan atau mafia peradilan bisa bebas, dan tidak menjalankan proses peradilan pidana lagi selanjutnya.
  2. praktik tebus tahanan dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi atau suap, karena telah memenuhi unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tersebut.

Saran

  1. Penegakan hukum harus dilaksanakan secara obyektif dan memperlakukan setiap orang secara sama kedudukannya di mata hukum (Equality Before The Law) merupakan sikap profesional yang harus dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum.
  2. Perlunya sosialisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa ancaman hukuman pidananya itu cukup tegas, agar dapat memberi efek jera bagi yang ingin melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.


DAFTAR PUSTAKA


Buku:


Adji, Indriyanto Seno. 2007. KORUPSI, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: CV. Diadit Media.

Arief, Barda Nawawi. 2008. Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bemmelen, Mr. J. m. van. 1987. Hukum Pidana I. Bandung: Bina Cipta.

Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Djamali, R. Abdoel. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Farid, A.Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar grafika.

Ibrahim, Johny. 2005. Teori Metode & Penelitian hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia Publishing.

Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar grafika

--------. 1991. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat dihukum (Delik). Jakarta: Sinar grafika.

--------. 1991. Tindak Pidana KORUPSI Masalah dan Pemecahannya Bagian Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Morris, Norval. “Introduction” dalam Criminal Justice In Asia, the Quest for an Integrated Approach. Unafei.

Muhjad, Hadin. 2008. Dasar-Dasar Penelitian Hukum. Banjarmasin.

Nawawi, Barda. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Bina Group.

--------. 2008. Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI.

Rukmini, Mien. 2006. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga rampai). Bandung: PT. Alumni.

Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa.

Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.



Bahan Internet:

Anonim. Kamus Bahasa Indonesia. http://www.sms-anda.com. Diakses tgl 22 Juli 2009

Kumorotomo, Wahyudi. Budaya Upeti, Suap dan Birokrasi Publik. http//:www.Google.com. Diakses 22 Maret 2008.

Muladi, 2000. Hakikat Suap dan Korupsi. http//:www.onisosdem.org. Diakses 22 Juli 2009.

Pamungkas, Danu. Mengaji Sistem Peradilan Pidana. 2009. http://suaramerdeka.com. Diakses 22 Februari 2010.

R. Sigit. Inilah Pola-Pola dalam Praktik Mafia Peradilan. http:/id.wordpress.com. Diakses pada tanggal 21 Januari 2010.
Tim, 2009. Berita: Gratifikasi, Agar Harta Pejabat Tidak Lagi Sim Salabim. http//:www.hukumonline.com. Diakses 28 Mei 2009.

Triwanto. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. 2009. http://triwantoselalu.blogspot.com. Diakses 22 Februari 2010.


Kamus:



Anonim. 2008. Kamus Hukum. Bandung: Citra Umbara.

Natabaya, H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. 1999. Buku Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda-Bahasa Indonesia. Jakarta.

Poewadarminta, W.J.S. 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Simorangkir, J.C.T.. 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Subekti, R. dan Tjitrosoedibio. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.



Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Peraturan Pemerintah RI No.2 Tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota kepolisian Negara RI.