Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia telah menegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Beberapa ciri penting dari negara hukum menurut Julius Sthal adalah (1) perlindungan HAM, (2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undangundang, dan (4) adanya peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan pendapat dari A.V. Dicey ciri Penting Negara Hukum (the Rule of Law) yaitu (1) Supremacy of law, (2) Equality of law, (3) due process of law. The International Commission of Jurist juga menambahkan prinsip-prinsip negara hukum adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum, (2) Pemerintahan menghormati hak hak individu, dan (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Berdasarkan pendapat dari Prof. Jimly Assidiqie terdapat 12 prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang ini yang merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip pokok tersebut adalah :
- supremasi hukum (supremasi of law);
- persamaan dalam hukum (equality before the law);
- asas legalitas (due process of law);
- pembatasan kekuasaan;
- organ-organ eksekutif yang bersifat independen;
- peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial and independent judiciary);
- peradilan tata usaha negara (administrative court);
- peradilan tata negara (constitusional court);
- perlindungan hak asasi manusia;
- bersifat demokratis (democratische rechstaat);
- berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan (welfare rechtsstaat);
- transparansi dan kontrol sosial
Dalam kaitannya dengan due process of law tersebut, dalam Rakernas MA yang baru saja berlangsung Yang Mulia Hakim Agung Dr. Altidjo Alkostar, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung RI dalam makalahnya yang berjudul “Kebutuhan Responsifitas Perlakuan Hukum Acara Pidana dan Dasar Pertimbangan Pemidanaan serta Judicial Immunity” menyatakan, “Perlakuan hukum terhadap manusia yang dikualifikasikan sebagai tersangka dan terdakwa menuntut ketepatan dan kebenaran secara prosedural, karena hal ini berimplikasi terhadap pemidanaan yang dijatuhkan dalam proses pengadilan. Dalam proses penyidikan harus dijamin adanya bukti-bukti yang cukup tentang posisi hukum terdakwa dengan perbuatan pidana yang terjadi, sehingga tidak ada keraguan lagi bahwa dialah pelaku kejahatan (beyond reasobable doubt).”
Lebih lanjut dalam makalah yang sama Yang Mulia Hakim Agung Dr. Altidjo Alkostar juga menyatakan “Begitu pula dalam hal memperoleh barang bukti, aturan hukum mensyaratkan adanya prosedur yang sah. Pada umumnya negara hukum menentukan bahwa barang bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hak-hak dasar yang ditentukan dalam konstitusi atau diperoleh secara illegal tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan dan prinsip ini dikenal dengan Exclusionary Rule.”
Sehubungan dengan due process of law, UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan khususnya untuk perkara – perkara anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah “jalan” yang telah disepakati bersama untuk menjadi panduan baik bagi Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan, Balai Pemasyarakatan, dan juga Advokat. Salah satu hal yang krusial yang harus menjadi perhatian dari seluruh pejabat di setiap tingkat pemeriksaan adalah hak atas bantuan hukum dan kehadiran advokat dalam setiap tingkat pemeriksaan.
0 komentar:
Posting Komentar